Kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja (Sumatera), ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politik.
Pengasas Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.
Sebahagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penceritaan orang-orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandungi racun. Kematian demi kematian tidak melunturkan niat para lelaki untuk menjadikan perempuan itu sebagai isteri. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).
uami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sepet tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam buluh dan dipotong menjadi dua bagian. “Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung,” tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.
Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.
Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menakluk Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentera yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana’an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama popular Abdullah Kana’an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Boleh disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti bila dia meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.
Walaupun tak boleh menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal ghaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.
Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahawa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh.
“Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun,” ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara, Selasa (26/4). Ali Akbar yang banyak menulis buku sejarah Aceh, juga mengakui kisah kematian 99 lelaki itu hanyalah legenda.
Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.
Pemerintah Kota Lhokseumawe belum menjadikan makam Putroe Neng sebagai lokasi kunjungan wisata. Suvenir tentang Putroe Neng tidak ada sama sekali. Para pengunjung yang datang ke makamnya hanya sebatas peneliti dan segelintir masyarakat yang pernah mendengar kisah Putroe Neng. Rendahnya kepedulian terhadap makam Putroe Neng, bisa terlihat dari kondisi makam tersebut yang nyaris tak terawat. Di dalam komplek berukuran sekitar 20 x 20 meter tersebut, terdapat 11 makam, termasuk milik Putroe Neng tetapi selebihnya tidak diketahui milik siapa.
Menurut Teungku Taqiyuddin, seorang peneliti yang getol menggali sejarah Kerajaan Samudera Pasai, dari tulisan yang terdapat di batu nisan, diyakini makam-makam tersebut milik ulama syiah. Lantas, benarkah makam yang selama ini diyakini milik Putroe Neng sahih adanya?
Teungku Taqiyuddin mengaku belum mendapatkan jawaban sehingga keyakinan masyarakat tentang kebenaran makam tersebut belum bisa dipatahkan. “Siapa tahu dengan banyaknya penelitian nanti akan terjawab,” kata Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, bisa jadi karena ada makam Putroe Neng di sana, kemudian berkermbang cerita tentang kematian 99 suami atau bisa saja kisah itu sudah melegenda sejak lama.
Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan.
Blogger Comment
Facebook Comment